Badai krisis yang menerpa asia, 1997, banyak orang menduga, kawasan ini bakal runtuh. Fenomena ekonomi di kawasan denga pertumbuhan tercepat di dunia itu, tiba tiba saja menjadi tempat paling mengerikan bagi investasi. Hujan komentar menyalahkan, bernada menyalahkan krisis, para ekonom menyalahkan kebijakan ekonomi, analisis perbankan menuding kelemahan system keuangan.
Seburuk itukah, “Krisis Asia” ini? Itu “Cuma krisis ekonomi” kok, bukan kiamat! Lihat saja, aksara sina untuk krisis dibaca wei-ji, punya dua arti : “bahaya” (danger) dan “peluang” (opportunity)
Puncak krisis yang menimpa Indonesia sendiri, memicu chaos. Harga melambung tinggi, nilai dolar menggila, penjarahan diamana-mana, kelangkaan pangan, bank-bank mengalami rush besar-besaran. Celakanya situasi terrsebut itu berlangsung tidak sebentar, apakah bangunan ekonomi kita ambruk?
Tidak! Ada seberkas sinar harapan diantara puing puing keehancuran. Tidak sedikit pengusaha masih tegar, bahkan ada yan segar bugar. Seorang kolega agribis yang memasok hasil pertanian dari blitar, jawa timur, berkata, petani disana jadi sumringah. Hasil tani dan kebun mereka, sepercti cabe dan kelapa, harganya makin bagus. Cerita serupa, dating dari daerah-daerah pertanian lain ya. Ada yang mendapat berkah akibat krisis moneter, gara-gara terjungkirnya nilai rupiah yang babakbelur sampai kejeblos ke dassr jurang. Mereka ini para pengusaha kecil yag menjalankan usahanya secara konvenaional, penuh kehati-hatian, disiplin, tidak mengobral utang apa lagi sampai menjebol bank. Mereka menarik hikmah dari krismon: krismon tidak menghancurkan sedi usaha mereka.
Mereka masih biasa bertahan, sehingga walaupun tidak bebas dari tekan ekonomi,,mereka masih punya kesempatan untuk beradapatasi dengan situasi. Usaha kecil dan menengah, begitu lentur. Apalagi, mereka juga tidak tergantung pada bahan impor. Dengan begitu, mereka tidak akan terlalu terkena dampak melambungnya biaya produksi.
Rezeki bagi mereka yang berorientasi ekspor, malah bertambah. Dengan “dukungan” krisis moneter, harga produk mereka jadi sangat bersaing, dan pembayaran yang di terima dalam bentuk dolar menyebabkan keuntungan menjadi berlipat ganda. Dari paparan ini apa kata simpulnya? Bagaimana menentukan langkah selanjutnya dalam situasi krisis ini?
Kenyataan di atas, tidak bisa melahirkan kata simpil yang lebih tepat, kecuali menjadi pengusaha kecil yang baik merupakan jawaban yang paling “pas”, saat menghadapi risis moneter mendera sejak tahun 1997. Lebih-lebih jika bidang usahanya berorientasi pada ekspor dengan bahan baku local, maka itu akan menjadi solusi ideal agar bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang kuat secara ekonomis, tidak rapuh dalam menghadapi gejolak moneter
Solusi ini, memang tidak gampang diwujutkan tanpa dukungan system kebijakan serta pembinaan yang sungguh-sungguh dibawah pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur KKN.
Sumber buku : Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian. Oleh: Valentino Dinsi,SE,MM,MBA dkk